Bab-Bab Sutrah Orang yang Shalat

Bab-Bab Sutrah Orang yang Shalat

Bab Ke-89: Sutrah (Sasaran/Pembatas) Imam adalah Juga Sutrah Orang yang di Belakangnya



279. Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah ketika keluar pada hari raya (dalam satu riwayat: pada hari Idul Fitri dan Idul Adha [2/7] ke mushalla/ lapangan tempat shalat Id 2/8), beliau memerintahkan kepada kami untuk meletakkan tombak di hadapan beliau. (Dalam satu riwayat: beliau biasa pergi ke mushalla dan dibawakan tombak. Lalu, ditancapkan di hadapan beliau. Dalam riwayat lain: ditegakkan di hadapan beliau 1/127). Lalu, beliau shalat dengan menghadap kepadanya, sedang orang-orang di belakang beliau. Beliau berbuat demikian itu dalam perjalanan. Karena itulah, para amir mengambilnya (melakukannya).



Bab Ke-90: Berapakah Seyogianya Jarak Antara Orang yang Shalat dan Sutrahnya



280. Sahl berkata, “Antara tempat shalat Rasulullah[67] dan dinding (dan dalam satu riwayat: jarak antara dinding masjid ke arah kiblat dengan mimbar 8/154)[68] adalah kira-kira jalan tempat lewatnya kambing.”

281. Salamah berkata, “Dinding masjid di sisi mimbar itu hampir-hampir seekor biri-biri saja tidak dapat melaluinya.”[69]



Bab Ke-91: Shalat Menghadapi Tombak Pendek sebagai Sutrah

(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar yang disebutkan pada nomor 279 tadi.”)



Bab Ke-92: Shalat Menghadapi Tongkat



Bab Ke-93: Sutrah di Mekah dan Lain-Lainnya



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Juhaifah yang disebutkan pada nomor 211 di muka.”)



Bab Ke-94: Shalat dengan Menghadapi Pilar-Pilar



Umar berkata, “Orang-orang yang shalat lebih berhak untuk shalat di belakang pilar-pilar masjid daripada orang-orang yang berbicara.”[70]

Umar juga pernah melihat seseorang shalat di antara dua pilar. Lalu, dia memindahkannya ke dekat sebuah pilar dan menyuruhnya supaya shalat di belakangnya.[71]



282. Yazid bin Ubaid berkata, “Saya bersama-sama dengan Salamah bin Akwa’ dan dia shalat pada tiang yang ada di sebelah mushaf. Lalu saya berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, saya melihatmu selalu shalat pada tiang ini.’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya saya melihat Rasulullah selalu shalat padanya.’”



Bab Ke-95: Mendirikan Shalat yang Bukan Jamaah di Antara Pilar-Pilar



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar yang akan disebutkan pada ’56 – Al-Jihad / 127 – BAB’”).



Bab Ke-96:



283. Nafi’ mengatakan bahwa Abdullah apabila memasuki Ka’bah, dia terus berjalan ke muka dan meninggalkan pintu Ka’bah di belakangnya. Dia berjalan terus sehingga dinding yang ada di hadapannya hanya berada lebih kurang tiga hasta darinya. Dia shalat di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah shalat, sebagaimana diceritakan Bilal kepadanya. Ibnu Umar berkata, “Tidak ada persoalan bagi seseorang di antara kita untuk shalat di sembarang tempat di Ka’bah.”



Bab Ke-97: Shalat Menghadap Kendaraan, Unta, Pohon, dan Pelana



284. Dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam bahwa beliau menjadikan kendaraan beliau sebagai sasaran (sutrah) shalat. Lalu, beliau shalat menghadap kepadanya. Saya bertanya, “Apakah kamu melihat apabila kendaraan itu bergerak?” Ia menjawab, “Beliau mengambil kendaraan kecil, ditegakkannya. Lalu, beliau shalat di bagian belakangnya.” Umar melakukannya seperti itu.



Bab Ke-98: Shalat Menghadapi Ranjang



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang akan disebutkan pada nomor 288.”)



Bab Ke-99: Orang yang Shalat Menolak Orang yang Lewat di Depannya



Ibnu Umar menolak orang yang lewat di depannya ketika sedang bertasyahud dan sewaktu di dalam Ka’bah. Dia pernah berkata, “Jika ia tidak mau kecuali engkau perangi, maka perangilah ia!”



285. Abu Sa’id Al-Khudri mengatakan bahwa ia shalat di hari Jumat pada sesuatu yang menutupinya dari manusia. Seorang pemuda dari bani Abu Muaith akan lewat di depannya. Abu Said menolak dadanya. Maka, pemuda itu melihat. Namun, ia tidak mendapat jalan selain di depannya. Lalu, ia kembali untuk melewatinya. Namun, Abu Said menolak lebih keras daripada yang pertama. Maka, ia mendapat (sesuatu yang tidak menyenangkan-penj.) dari Abu Sa’id. Kemudian ia datang kepada Marwan, mengadukan apa yang ia jumpai dari Abu Sa’id. Abu Sa’id datang pula kepada Marwan di belakangnya, lalu Marwan bertanya, “Ada apakah kamu dan anak saudaramu, hai Abu Said?” Abu Sa’id menjawab, “Saya mendengar Nabi bersabda, ‘Apabila salah seorang di antaramu sedang shalat dengan ada sesuatu yang menutupinya dari orang banyak, lalu ada seseorang yang akan lewat di depannya, maka tolaklah ia.’ (Dan dalam satu riwayat: ‘Apabila ada sesuatu yang hendak lewat di depan seseorang di antara kamu ketika ia sedang shalat, maka hendaklah ia mencegahnya. Jika tidak mau, maka hendaklah ia mecegahnya lagi.’ 4192). Jika ia enggan, maka perangilah ia, karena sesungguhnya ia adalah setan.’”



Bab Ke-100: Dosa Orang yang Berjalan di Depan Orang Shalat



286. Busr bin Abi Sa’id mengatakan bahwa Zaid bin Khalid menyuruhnya menemui Abu Juhaim. Ia perlu menanyakan kepadanya, apa yang pernah ia dengar dari Rasulullah mengenai orang yang berjalan di depan orang yang sedang mengerjakan shalat. Kemudian Abu Juhaim berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Seandainya orang yang lewat di muka orang yang sedang shalat itu mengetahui dosa yang dibebankan kepadanya, niscaya ia berdiri empat puluh lebih baik daripada ia lewat di depannya.”‘ Abu Nadhar (perawi) berkata, “Saya tidak mengetahui, apakah beliau bersabda empat puluh hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun.”



Bab Ke-101: Seseorang Menghadap Seseorang yang Shalat



Utsman benci bila seseorang menghadap seseorang yang sedang shalat, kalau hal itu akan memecah perhatiannya. Apabila tidak menimbulkan efek tersebut, maka Zaid bin Tsabit berkata, “Aku tidak peduli, karena orang laki-laki tidaklah membatalkan shalat laki-laki lain.”[72]



287. Dari Masruq dari Aisyah bahwa hal-hal yang membatalkan shalat disebutkan di sisinya. Mereka mengatakan, “Shalat menjadi batal jika seekor anjing, keledai, atau seorang wanita (lewat di depan orang yang shalat itu).” Aisyah berkata, “Anda sekalian telah menjadikan kami (kaum wanita) sama dengan anjing. (dalam satu riwayat: Anda samakan kami [dalam satu jalan: sungguh jelek Anda samakan kami] dengan himar dan anjing. Demi Allah), sesungguhnya saya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. shalat sedang saya berada di antara beliau dan kiblat. (Dalam satu riwayat: sedang kedua kakiku di arah kiblat beliau), dan saya berbaring (dalam satu riwayat: tidur) di tempat tidur. (Dalam satu riwayat: Lalu Nabi datang. Kemudian berada di tengah-tengah tempat tidur, lalu shalat 1/29). Maka, saya membutuhkan sesuatu. Tetapi, saya tidak suka menghadap beliau karena dapat mengganggu beliau (dan dalam satu riwayat: mengacaukan pikiran beliau). Maka, saya menyelinap turun dari arah kaki ranjang, sehingga saya menyelinap dari selimut saya.’”



Bab Ke-102: Shalat di Belakang Orang yang Tidur



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari dengan isnadnya hadits Aisyah dalam bab berikut ini.”)



Bab Ke-103: Shalat Tathawwu’ (Sunnah) di Belakang Seorang Wanita



288. Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah dengan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, beliau mendorongku. Lalu, aku menarik kedua kakiku. Apabia beliau berdiri, aku memanjangkan kembali kedua kakiku.” Aisyah menambahkan, “Pada waktu itu tidak ada lampu di rumah.”



Bab Ke-104: Orang yang Mengatakan, “Tidak Ada Sesuatu yang Dianggap Dapat

Membatalkan Shalat.”



289. Anak lelaki saudara Ibnu Syihab bertanya kepada pamannya tentang shalat, “Apakah dapat dibatalkan oleh sesuatu?” Dia menjawab, “Tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu pun.” Urwah bin Zubeir telah memberitahukan kepadaku bahwa Aisyah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. berkata, “Rasulullah bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan aku benar-benar dalam keadaan (tidur) melintang antara beliau dan arah kiblat pada kamar tidur keluarganya. Maka, ketika hendak witir, beliau membangunkan aku, lalu aku shalat witir (1/130).”



Bab Ke- 105: Jika Seseorang Membawa Seorang Anak Wanita Kecil Di Atas Lehernya Ketika Shalat



290. Abu Qatadah al-Anshari mengatakan bahwa Rasulullah sering shalat dengan membawa Umamah anak wanita Zainab putri Rasulullah yang menjadi istri Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdi Syams (di pundak beliau 7/74). Apabila beliau sujud, beliau meletakkannya. Apabila beliau berdiri, beliau membawanya (menggendongnya).” (Dalam satu riwayat: “Apabila beliau ruku, maka beliau meletakkannya. Apabila beliau berdiri, beliau bawa berdiri.”)



Bab Ke-106: Shalat dengan Menghadap Tempat Tidur yang Ditempati Seorang Wanita Haid



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadits Maimunah yang telah disebutkan pada nomor 212.”)



Bab Ke-107: Apakah Diperbolehkan Suami Menyentuh Istrinya di Waktu Sujud, Supaya Bisa Sujud dengan Sebaik-baiknya?



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 288.”)



Bab Ke-108: Wanita Dapat Memindahkan Hal-Hal yang Mengganggu / Membahayakan dari Orang yang Sedang Shalat



(Saya berkata, “Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Mas’ud yang disebutkan pada nomor 144 di muka.”)


Catatan Kaki:

[1] Ini adalah bagian dari hadits Ibnu Abbas yang panjang dan akan disebutkan secara maushul dengan lengkap pada Kitab ke-56 “al-Jihad”, Bab ke-102.



[2] Di-maushul-kan oleh Imam Bukhari dalam “at-Tarikh” dan Abu Dawud dalam Sunan-nya dan lain-lainnya, dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dan itulah yang lebih akurat. Hal ini dijelaskan di dalam Fathul Bari dan Shahih Abi Dawud (643).



[3] Menunjuk kepada hadits Muawiyah bahwa dia bertanya kepada saudara perempuannya, Ummu Habibah, “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. pernah melakukan shalat dengan mengenakan pakaian yang dipergunakannya ketika melakukan hubungan seksual?” Ummu habibah menjawab, “Pernah, apabila beliau tidak melihat adanya kotoran padanya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Hadits ini aku takhrij di dalam Shahih Abi Dawud (390).



[4] Ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan secara maushul pada Kitab ke-65 “at-Tafsir”, Bab ke-9 “Bara’ah”, Bab ke-2 dari hadits Abu Hurairah.



[5] Di-maushul-kan oleh penyusun pada hadits nomor 203.



[6] Yakni hadits yang diriwayatkannya mengenai menyelimutkan pakaian (dalam shalat), dan yang dimaksudkan boleh jadi haditsnya dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan lain-lainnya, atau dari Sa’id dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lainnya. Tampaknya perkataan “Menyilangkan….” itu adalah perkataan penyusun (Imam Bukhari) sendiri.



[7] Di-maushul-kan penyusun sendiri dalam bab ini tanpa perkataan “Dan menyilangkan …”, dan hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/158) dan Ahmad (6/342) dari Ummu Hani’.



[8] Di-maushul-kan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam manuskrip (tulisan tangan) nya yang terkenal dari jalan Hisyam dari al-Hasan dengan lafal yang hampir sama dengannya, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan lain darinya, dan sanadnya sahih.



[9] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad sahih darinya. Al-Hafizh berkata, “Perkataannya ‘dengan kencing’ itu, apabila alif-lam (‘al-’ pada lafal ‘a-baul’) berfungsi lil-jinsi (menunjukkan jenis kencing secara umum), dapat diartikan bahwa dia telah mencucinya sebelum mengenakannya, dan jika ‘al-’ itu berfungsi ‘lil-’ahdi’ (mengikat), yang dimaksud ialah kencing binatang yang boleh dimakan dagingnya karena az-Zuhri berpendapat bahwa kencing binatang ini suci (tidak najis).”



[10] Di-maushul-kan oleh Ibnu Sa’ad darinya.

*1*) Saya [Sofyan Efendi] berkata, “Silakan lihat catatan kaki hadits no.782.”



[11] Hadits Ibnu Abbas di-maushul-kan oleh Tirmidzi dan lainnya. Hadits Jarhad di-maushul-kan oleh Malik dan Tirmidzi serta dihasankannya dan disahkan oleh Ibnu Hibban. Adapun hadits Muhammad bin Jahsy di-maushul-kan oleh Ahmad dan lain-lainnya. Pada semua isnad-nya terdapat pembicaraan, tetapi sebagiannya menguatkan sebagian yang lain, dan aku telah men-takhrij-nya di dalam “al-Misykat” (3112-3114) dan “al-Irwa’” (269).



[12] Di-maushul-kan oleh penyusun di sini dan akan disebutkan pada Kitab ke-55 “al-Washaayaa”, Bab ke-26.

[13] Ini adalah bagian dari suatu kisah yang di-maushul-kan oleh penyusun pada Kitab ke-62 “al-Fadhaail”, Bab ke-6.



[14] Ini adalah bagian dari suatu hadits yang di-maushul-kan oleh penyusun dalam beberapa tempat, di antaranya Kitab ke-56 “al-Jihad” dan disebutkan di sana pada Bab ke-12.



[15] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq (5033) darinya dan aku katakan bahwa sanadnya sahih.



[16] Di dalam riwayat Abu Ya’la, redaksinya tertulis, “Dan, sebagian kami tidak mengetahui keberadaan sebagian yang lain.” Silakan periksa bukuku Hijabul mar’atil Muslimah, hlm. 30, cetakan ketiga, terbitan al-Maktab al-Islami.



[17] Tambahan ini merupakan sisipan dari perkataan Ibnu Syihab, sebagaimana penjelasan al-Hafizh.



[18] Di-maushul-kan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan lain-lainnya. Hadits ini aku takhrij dalam Shahih Abi Dawud (848) dan Irwa’ul Ghalil (375).



[19] Al-Hafizh tidak men-takhrij-nya.



[20] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Sa’id bin Manshur dari dua jalan dari Abu Hurairah, yang keduanya saling menguatkan.



[21] Al-Hafizh tidak men-takhrij-nya.



[22] Pada hadits nomor 923 kitab ini disebutkan bahwa sebulan itu adakalanya tiga puluh hari dan adakalanya dua puluh sembilan hari. (Penj.)



[23] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dari keduanya.



[24] Di-maushul-kan oleh Ibnu Qutaibah di dalam naskah tangannya dengan riwayat Nasa’i dan Ibnu Abi Syaibah.



[25] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Said bin Manshur dengan sanad sahih darinya.



[26] Di-maushul-kan oleh penyusun pada bab sesudahnya dengan teks yang semakna dengannya dan diriwayatkan oleh Muslim dengan redaksi mu’allaq ini.



[27] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih darinya dengan lafal, “Sesungguhnya, sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. sujud sedang tangan mereka berada di dalam pakaian mereka, sedangkan seseorang dari mereka sujud di atas kopiah dan sorbannya.”



[28] Ini adalah sebagian dari hadits Abu Humaid yang akan disebutkan secara lengkap dan maushul pada Kitab ke-10 “al-Adzan”, Bab ke-144.



[29] Diriwayatkan secara maushul dari hadits Abu Ayyub (nomor 97), tanpa perkataan “buang air besar atau kencing” dan di-maushul-kan oleh Muslim (1/154) dengan tambahan ini.



[30] Ini adalah sebagian dari hadits tentang orang yang rusak shalatnya dari hadits Abu Hurairah dan penyusun me-maushul-kannya pada Kitab ke-79 “al-Isti’dzan”, Bab ke-18.



[31] Imam Bukhari me-maushul-kannya pada Kitab ke-22 “as-Sahwu”, Bab ke-88, tetapi tanpa perkataan “menghadapkan wajahnya ke arah orang banyak” karena perkataan ini terdapat dalam riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dari jalan Abu Sufyan, mantan budak Ibnu Abu Ahmad, dari Abu Hurairah. Akan tetapi, di situ disebutkan bahwa shalat tersebut adalah shalat ashar, dan isnad-nya sahih. Itu adalah riwayat penyusun (Imam Bukhari) dari riwayat Ibnu Sirin dari Abu Hurairah. Akan tetapi, aku terpaksa menjelaskan macam shalatnya ini sebagaimana akan Anda lihat nanti di sana, sehingga memungkinkan berpegang pada riwayat Abu Sufyan ini di dalam menguatkan riwayat Ibnu Sirin yang sesuai dengan ini. Wallahu a’lam.



[32] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah darinya dengan sanad sahih.



[33] Kemungkinan, ini adalah lafal hadits Abu Said al-Khudri karena pada lafal Abu Hurairah terdapat sedikit perubahan redaksi kalimat dan akan disebutkan sebentar lagi. Karena itu, aku tidak memberinya nomor urut di sini.



[34] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah yang semakna dengannya dalam suatu kisah.



[35] Al-Hafizh berkata, “Aku tidak melihatnya maushul.”



[36] Di-maushul-kan oleh penyusun dari hadits Aisyah pada Kitab ke-23 “al Janaiz”, Bab ke-61.



[37] Ini adalah bagian dari hadits yang panjang yang akan disebutkan secara maushul pada Kitab ke-96 “al-I’tisham”, Bab ke-4.



[38] Di-mauhsul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dari dua jalan dari Ali.



[39] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq.



[40] Di-maushul-kan oleh al-Baghawi dalam al Ja’diyyat.



[41] Boleh jadi, ini adalah lafal hadits Ibnu Abbas karena lafal hadits Aisyah sedikit berbeda dengan ini dan akan disebutkan pada Kitab ke-23 “al-Janaiz”, Bab ke-62. Karena itu, aku tidak memberinya nomor tersendiri di sini.



[42] Di-maushul-kan oleh penyusun pada nomor 186.



[43] Riwayat mu’allaq ini di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) pada Kitab ke-4 “al-Wudhu” yang telah disebutkan di muka pada nomor 139.



[44] Ini adalah bagian dari hadits yang di-maushul-kan oleh penyusun pada Kitab ke-61 “al-Manaqib” Bab ke25 “Alamaun Nubuwwah fil-Islam”.



[45] Ini adalah bagian dari hadits Ka’ab bin Malik yang panjang dalam kisah ketertinggalannya (keengganannya) ikut perang dan tobatnya, dan akan disebutkan secara maushul pada bagian-bagian akhir Kitab ke-64 “al-Maghazi”, Bab ke-81.



[46] Ini adalah bagian dari haditsnya yang panjang tentang Lailatu1-Qadar dan akan disebutkan secara maushul pada Bab ke-134.



[47] AI-Hafizh tidak men-takkrij-nya.



[48] Di-maushul-kan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya dan Ibnu Khuzaimah di dalam Shahih-nya.



[49] Di-maushul-kan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad yang kuat dan telah aku takhrij dalam Shahih Abi Dawud (474).



[50] Al-Hafizh berkata, “Yang benar, dia adalah seorang perempuan, yaitu Ummu Mihjan.” Kisah lain yang mirip dengan ini terjadi pada seorang laki-laki yang bernama Thalhah ibnul-Barra, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Silakan periksa pada Kitab ke-23 ‘al-Janaiz’ , Bab ke-5.



[51] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Hatim.



[52] Di-maushul-kan oleh Ma’mar dengan sanad sahih darinya.



[53] Akan disebutkan secara maushul pada Kitab ke-25 ‘al-Hajj’, Bab ke-58.



[54] Al-Hafizh menisbatkan atsar ini di dalam kitab al-Libas kepada al-Ismaili dengan catatan sebagai tambahan terhadap riwayatnya pada akhir hadits yang sebelumnya, seakan-akan kehadirannya memang tidak di sini di sisi penyusun (Imam Bukhari).



[55] Al-Hafizh tidak men-takhrij-nya.



[56] Ini adalah bagian dari hadits mu’allaq yang akan disebutkan sesudahnya pada sebagian jalannya dan ia mempunyai saksi (penguat) dan hadits Abu Hurairah yang aku takkrij di dalam al-Ahaditsush Shahihah (206).



[57] Hadits ini mu’allaq dan di-maushul-kan oleh Ibrahim al-Harbi di dalam Gharibul Hadits dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya dan lainnya dengan sanad yang kuat, dan telah aku takhrij dalam kitab di atas (al-Ahaditsush Shahihah).



[58] Tampaknya yang dimaksud dengan perkataan “seperti ini” adalah menjalin jari-jari. Kelengkapan hadits sebagaimana yang diriwayatkan oleh orang yang kami sebutkan di atas adalah, “Mereka mudah mengobral janji dan amanat serta bersilang sengketa, maka jadinya mereka seperti ini,” dan beliau menjalin jari-jari beliau….



[59] Riwayat tentang shalat ashar ini didukung oleh riwayat Malik dari jalan Abu Sufyan dari Abu Hurairah dan sudah disebutkan pada hadits mu’allaq pada nomor 86.



[60] Maksudnya boleh jadi, mereka bertanya kepada Ibnu Sirin yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah, “Apakah dalam hadits itu diceritakan: Kemudian beliau salam?” Ibnu Sirin lalu menjawab, “Kami mendapat informasi….” Silakan periksa al-Fath.



[61] Sebuah perkampungan yang jaraknya dari Ruwaitsah sejauh 10 atau 14 mil.



[62] Bukit yang terletak di pertemuan jalan Madinah dan Syam, dekat Juhfah.



[63] Suatu lembah yang oleh masyarakat umum disebut dengan Bathn Muruw, yang jaraknya dengan Mekah sejauh 16 mil.



[64] Jamak dari Shafia’, sebuah tempat yang terletak sesudah Zhahran.



[65] Suatu tempat di sebelah pintu Ka’bah yang disukai orang yang hendak masuk Mekah agar mandi di situ. Masalah mandi ini akan disebutkan dalam hadits Ibnu Umar pada Kitab ke-25 “al-Hajj”, Bab ke-38.



[66] Al-Hafizh berkata, “Masjid-masjid ini sekarang sudah tidak diketahui lagi selain Masjid Dzil Hulaifah. Masjid-masjid yang ada di Rauha’ dikenal oleh penduduk sekitar.” Aku (al-Albani) berkata, “Menapaktilasi shalat di sana yang dilarang Umar itu bertentangan dengan perbuatan putranya (Ibnu Umar) dan sudah tentu Ibnu Umar lebih tahu karena terdapat riwayat yang menceritakan bahwa dia melihat orang-orang di dalam suatu bepergian lantas mereka bersegera menuju ke suatu tempat, lalu dia bertanya tentang hal itu. Mereka menjawab, ‘Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam. pernah shalat di situ.’ Dia berkata, ‘Barangsiapa yang ingin shalat, silakan; dan barangsiapa yang tidak berminat, silakan jalan terus. Sesungguhnya, Ahli Kitab telah rusak karena mereka mengikuti tapak tilas nabi-nabi mereka, lantas menjadikannya gereja-gereja dan biara-biara.’” Aku katakan bahwa ini menunjukkan ilmu dan pengetahuannya radhiyallahu anhu dan Anda dapat menjumpai takkrij atsar ini beserta penjelasan tentang hukum menapaktilasi para nabi dan shalihin di dalam fatwa-fatwaku pada akhir kitab Jaziiratu Failika wa Khuraftu Atsaril Khidhri fiihaa” karya Ustadz Ahmad bin Abdul Aziz al-Hushain, terbitan ad-Darus Salafiyyah, Kuwait, halaman 43-57. Silakan periksa karena masalah ini sangat penting.



[67] Yakni tempat sujud beliau, dan perkataan al-Asqalani, “Yakni tempat beliau dalam shalat”, adalah jauh dari kebenaran. Karena, tidak mungkin beliau biasa bersujud dalam jarak seperti ini. Kecuali, kalau dikatakan bahwa beliau mundur ketika sujud. Sebagian golongan Malikiah berpendapat seperti ini. Tetapi, pendapat ini ditentang oleh Abul Hasan as-Sindi rahimahullah. Di antara yang mendukung pendapat ini ialah kalau Rasulullah berdiri dalam jarak yang demikian dekat dengan dinding itu, sudah tentu jarak shaf yang ada di belakang beliau sekitar tiga bahu. Ini bertentangan dengan Sunnah dalam merapatkan barisan, dan bertentangan dengan sabda beliau, ‘Berdekat-dekatanlah kamu di antara shaf-shaf.” Hadits ini adalah sahih dan kami takhrij dalam Shahih Abi Dawud (673). Pendapat itu juga bertentangan dengan hadits Ibnu Umar yang tercantum pada nomor 283 akan datang.



[68] Saya katakan, “Riwayat ini menurut pendapat saya lebih sah sanadnya daripada yang pertama. Di dalam riwayat ini tidak terdapat kemusykilan seperti pada riwayat yang pertama. Riwayat ini didukung oleh hadits Salamah yang disebutkan sesudahnya. Bahkan, riwayat yang pertama itu syadz ‘ganjil’ sebagaimana saya jelaskan dalam Shahih Abi Dawud (693).”



[69] Al-Mihlab berkata, “Di antara dinding dengan mimbar masjid terdapat kesunnahan yang perlu diikuti mengenai tempat mimbar, agar dapat dimasuki dari tempat itu.”



[70] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Humaidi dari jalan Hamdan dari Umar. Demikian penjelasan dalam Asy-Syarh.



[71] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah juga dari jalan Muawiyah bin Qurrah bin Iyas al-Muzani, dari ayahnya, seorang sahabat, katanya, “Umar pernah melihat aku ketika aku sedang shalat…” Lalu ia menyebutkan seperti riwayat di atas.



[72] Al-Hafizh tidak melihatnya dari Utsman, melainkan dari Umar. Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (2396), dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lainnya dari jalan Hilal bin Yasaf dari Umar yang melarang hal itu. Perawi-perawinya tepercaya, tetapi isnadnya munqathi’ ‘terputus’, Hilal tidak mendapati zaman Umar. Saya (Al-Albani) berkata, “Adapun hadits yang sering diucapkan oleh sebagian imam masjid di Damsyiq dengan lafal, “Maa aflaha wajhun shallaa ilaihi”, maka saya tidak mengetahui asal-usulnya.”



Sumber Ringkasan Shahih Bukhari – Penulis: Syaikh Al-Albani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUMPULAN HADIST SHOHIH

Ruqyah Mandiri

shalat wajib menurut 4 mazhab