ketika Maut memisahkan Rumah tangga


Ketika Maut Memisahkan
Setiap yang hidup pasti merasakan mati. Tidak terkecuali bagi pasangan kita, suami tercinta. Ketika Allah Al-Hayyu mengambil jiwa kekasih tercinta, apakah yang harus kita lakukan?
Ikhlas & sabar
Tidak seorang pun terlepas dari nyeri yang berdenyut dlm jiwa, penyakit yang menginap dlm badan, hilangnya kekasih hati & lenyapnya harta benda. Semua kalangan tak akan terluput darinya, baik dia seorang yang baik atau pun jahat, demikian pula orang mukmin & orang kafir. Akan tetapi, bedanya adalah orang mukmin senantiasa menghadapi musibah dgn ridha & ketenangan yang memenuhi hatinya, kemudian membawanya kepada Allah Ta’ala, Yang mengatur hati juga pandangan, karena dia memahami bahwa apa yang menimpanya tak akan pernah meleset, & apa yang Allah Ta’ala jauhkan darinya tak akan pernah menimpanya. [Lihat Meniru Sabarnya Nabi (hal. 53)]
Ketika ajal sang kekasih hati -yang telah sekian lama menemani ayun langkah kita dlm mengarungi bahtera rumah tangga- telah sampai pada waktunya, maka ketika itu pulalah kita selaku istri diharuskan utk menggenggam kesabaran atas takdir-Nya. Salah satu wujud ikhlas & sabar ketika menghadapi musibah adalah dgn ber-istirja’ (mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un). Sebagaimana disebutkan dlm firman Allah Ta’ala,
وَلَنَبْـلُوَنَّـكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَ نَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُـسِ وَالثَّمَـرَاتِ ۗ وَبَـشِّـرِ الصَّبِرِيْنَ ۝ الَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابِتْهُـمْ مُّصِيْبَـةٌ ۗ قَالُوْآ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُـوْنَ ۗ ۝ اُولَئِـكَ عَلَيْهِـمْ صَلَوَتٌ مِّنْ رَّبِّهِـمْ وَرَحْمَـةٌ ۗ وَاُلَـئِـكَ هُـمُ الْمُهْـتَـدُوْنَ ۝
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dgn sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, & buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah & sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya).’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna & rahmat dari Rabb mereka, & mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157)
Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, bahwa sesungguhnya kesabaran yang terpuji adalah kesabaran yang engkau hunus ketika musibah itu datang secara tiba-tiba. Sedangkan kesabaran yang hadir sesudah musibah itu terjadi akan berbeda nilainya dgn kesabaran yang dilakukan pada saat musibah itu terjadi. Karena kesabaran yang terjadi ketika musibah sedang berada di puncaknya lebih besar & lebih bermanfaat ketimbang kesabaran yang terjadi setelah musibah itu berlalu. [Lihat Fat-hul Baari (III/149) & Meniru Sabarnya Nabi (hal. 47)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْ مَةِ الْأُوْلَى .
“Sesungguhnya kesabaran itu terjadi pada saat awal benturan (musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 1283) & Muslim (no. 926), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Disunnahkan pula berdo’a utk mendapatkan kebaikan dari musibah yang menimpanya, sebagaimana disebutkan dlm sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
عَنْ أُم سَلَمَة رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم يَقُـول: مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولَ مَا أَمَرَهُ اللهُ (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ) اَلـلَّهُمَّ أْجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا. قَالَتْ: فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ: أَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرٌمِنْ أَبِي سَلَمَةَ, أَوَّلَ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ؟ ثُمَّ إِنِّي قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللهُ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم .
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setiap Muslim yang tertimpa musibah, lalu mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan Allah “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Allahumma aajirni fii mushiibatii wa akhliflii khairan minhaa” (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah & sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kami akan kembali, Yaa Allah, limpahkanlah kepadaku pahala dlm musibahku ini & berilah ganti yang lebih baik darinya), melainkan pasti Allah memberi pahala kepadanya dlm musibahnya tersebut & memberi ganti yang lebih baik darinya.’
Kemudian tatkala Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata: ‘Siapakah di antara orang-orang Muslim yang lebih baik daripada Abu Salamah, ia beserta keluarganya yang pertama kali hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Kemudian aku mengucapkan istirja’ ini, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/37 no. 918), Ahmad (VI/309), Al-Baihaqi (IV/65) & Abu Dawud (no. 926). Lihat juga Silsilah Ash-Shahiihah (no. 734)]
Tidak meratapi kematiannya
Bersedih & menangis atas sebuah musibah adalah sesuatu hal yang wajar, tetapi janganlah sampai berlebihan. An-Niyahah maksudnya adalah teriakan keras yang disertai dgn tangisan secara berlebihan. Tindakan ini biasa dilakukan oleh kaum wanita Jahiliyyah, di mana mereka berdiri berhadapan sambil berteriak-teriak & menabur-naburkan tanah di atas kepala mereka sambil memukuli wajah mereka. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)]
Banyak kita temui para wanita yang menangisi kematian orang yang dicintainya dgn berlebihan, sambil menjerit-jerit, merobek-robek pakaiannya, menampar-nampar pipinya, menjambak rambutnya, & sebagainya. Ketahuilah saudariku, perbuatan semacam ini adalah perilaku wanita-wanita jahiliyah, yang kita dilarang utk mengikuti & menyerupai perilaku mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ, وَدَعَى بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ .
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang memukuli pipi, merobek-robek pakaian, & berteriak dgn teriakan Jahiliyah (ketika ditimpa musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari dlm Fat-hul Baari (III/127-128 no.1294), Muslim (I/70 no. 103), Tirmidzi (no. 1004), An-Nasa'i (IV/19), Ibnul Jarud (hal. 257), & Al-Baihaqi (IV/63-64) dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu]
Perbuatan semacam ini diharamkan oleh syari’at karena dapat membangkitkan kesedihan & menghilangkan kesabaran, juga bertentangan dgn sikap tawakkal (berserah diri) terhadap takdir Allah & tunduk atas ketetapan-Nya. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)]
Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, seorang wanita yang meratapi mayat jika dia tak bertaubat sebelum datang kematiannya, maka kelak dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat dgn mengenakan pakaian yang terbuat dari cairan tembaga & baju dari besi karatan.
النَّائِحَةُ إِذّا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا ، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَـطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرْبٍ .
“Wanita yang meratap jika tak bertaubat sebelum kematiannya, maka dia akan dibangkitkan kelak pada hari Kiamat dgn mengenakan pakaian yang terbuat dari cairan tembaga & memakai baju besi karatan.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/45 no. 934), Ahmad (V/432), Al-Hakim (I/383) & Al-Baihaqi (IV/63), dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu]
Catatan:
Di kalangan masyarakat terdapat sebuah amalan yang biasa dilakukan pasca kematian seseorang, yaitu tahlilan. Ketahuilah olehmu wahai saudariku muslimah, bahwa dlm masalah ini, tak ada satu pun dalil shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mensyari’atkan tahlilan atau berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit di mana pihak keluarga membuat makanan utk mereka agar mereka mendo’akan mayit tersebut. Kebiasaan ini tak ada manfaatnya sama sekali, baik bagi mayit maupun bagi keluarga mayit. Ini adalah salah satu dari sekian banyak amalan bid’ah yang sering di anggap hasan (baik) oleh sebagian besar masyarakat yang belum benar-benar memahami makna ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah). Dan para ‘ulama menganggap amalan ini sebagai salah satu bentuk ratapan utk mayit yang kita telah dilarang utk melakukannya. Allahul musta’an.
Berkabung atas kematian suami (ihdaad)
Kata al-ihdaad & al-hidaad diambil dari lafazh al-haddu, yang artinya menahan atau melarang. Secara istilah, ihdad berarti keadaan dimana seorang wanita dilarang utk berhias & melakukan semua hal yang dapat menarik hasrat lelaki lain utk melamarnya, dlm rangka berkabung atas meninggalnya suaminya. [Lihat Al-'Idad wal Hidad (hal. 18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa' (II/599), Ahkaamul Janaaiz (hal. 23-24), & Zaadul Ma'aad (V/705)]
Lamanya masa berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِيْنَ يَتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِـهِـنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۝
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dgn meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-Baqarah: 234)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda tentang hal serupa, beliau berkata,
لاَيَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تَؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ (أَنْ) تَحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُـرٍ وَعَـشْرًا .
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah & hari akhir utk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (III/114 & IX/400-401), dari Zainab binti Abi Salamah radhiyallahu 'anhuma]
Catatan:
Masa berkabung (ihdaad) seorang wanita bisa lebih panjang dari masa ‘iddahnya. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dlm keadaan hamil, maka ‘iddahnya hanya sampai dia melahirkan kandungannya, meskipun suaminya baru meninggal dlm hitungan menit. Namun, dibolehkan baginya utk berkabung atas kematian suaminya hingga empat bulan sepuluh hari.
Istri boleh menziarahi makam suami
Ziarah kubur disyari’atkan bagi seorang wanita, karena di dalamnya terkandung pelajaran bagi yang hidup, dapat melembutkan hati & meneteskan air mata serta mengingatkan kita akan kehidupan akhirat, dgn syarat wanita tersebut tak melakukan hal-hal yang dapat membuat Allah murka kepadanya. [Lihat Ahkaamul Janaaiz (hal. 179-181), Terj. Al-Wajiz (hal. 376-377), & Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/401)]
Seorang wanita yang ingin menziarahi makam suaminya, hendaknya dilakukan setelah masa ‘iddahnya selesai dan ditemani oleh mahramnya. Ketika dia memasuki area pemakaman, maka hendaklah dia mengucapkan salam (dengan syarat pemakaman tersebut khusus kaum muslimin). Lafazhnya adalah,
اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيِنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَـمُ اللهُ الْمُـسْـتَـقْـدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُـسْـتَأْخِرِيْنَ
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَ حِقُونَ .
“Assalaamu ‘alaa ahlid diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina minnaa wal musta’khiriin, wa inna in-syaa Allahu bikum lalaahiquun.”
Artinya, “Keselamatan bagimu wahai penghuni kubur dari kalangan mukminin & muslimin, semoga Allah menyayangi orang yang terdahulu & terakhir di antara kita, & sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/114 no. 974), Ahmad (VI/221), 'Abdurrazzaq (III/570-571 no. 6712), Al-Baihaqi (IV/79), & An-Nasa'i (I/286, II/160 & 160-161), dari jalur 'Aisyah radhiyallahu 'anha]
Catatan:
a. Ketika berziarah kubur, tak disyari’atkan utk melakukan berbagai macam bentuk peribadatan, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berkurban, & lain sebagainya, karena kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan utk beribadah. [Lihat Ahkaamul Janaaiz mengenai masalah bid'ah ketika ziarah kubur (hal. 203)]
b. Hendaknya seorang wanita tak terlalu sering melakukan ziarah kubur karena dikhawatirkan akan jatuh dlm kemaksiatan seperti, tabarruj, ikhtilath, & lain sebagainya.
bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
arsip artikel talak:
muslimah.or.id/keluarga/talak-bagian-1-hukum-talak.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-2-pembagian-talak.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-3-sebab-talak-nusyuz.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-4-sebab-talak-khulu.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-5-sebab-talak-ilaa.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-6-sebab-talak-liaan.html
muslimah.or.id/fikih/takal-bagian-7-sebab-talak-zhihar.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-9-ketika-maut-memisahkan.html
muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-10-beberapa-masalah-seputar-perceraian.html
Maraji’:
Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
Do’a & Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an & as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
Pernikahan & Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh 
sumber: www.muslimah.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUMPULAN HADIST SHOHIH

Ruqyah Mandiri

shalat wajib menurut 4 mazhab